Istiwa’ Allah di atas Arsy-Nya

بسم الله الرحمن الرحيم

            Asy-Syaikh Muqbil Al Wadi’i, semoga Allah merahmatinya pernah mengatakan syarah terbaik terhadap kitab Al Washitiyah Ibnu Taimiyah adalah yang disyarah oleh Asy-Syaikh Al ‘Allamah Al Utsaimin, semoga Allah merahmatinya.

            Dalam menerangkan persoalan sifat istiwa’ Allah, Asy-Syaikh Al Utsamin mengatakan bahwa partikel س و ى di dalam bahasa Arab ada 4 bentuk; tanpa imbuhan atau mujarradah, disertai imbuhan “ala” (استوى على), dengan imbuhan “ila” (استوى إلى), dan bersandingan dengan “waw”, tiga yang pertama terdapat di dalam Al Qur’an, dan masing-masing bentuk memiliki arti sendiri-sendiri. (Al Washitiyah (1/384)). Namun yang paling banyak mendapat sorotan adalah yang kedua, yakni yang disertai dengan imbuhan “ala”; استوى على

            Dalam syarah Muhammad Khalil Harras yang ditahqiq oleh Yasin dijelaskan bahwa Ahlussunnah sepakat bahwa makna استوى على tidak lain adalah “al ‘uluw & al irtifa’” yang berarti ketinggian. Tapi mereka berselisih dalam استوى إلى, sebagian mengartikannya dengan “al irtifa’” sedangkan yang lainnya mengartikan dengan “al qashd & al iqbal” yang berarti menuju. (Al Washitiyah halaman 148). Lihat juga Al Washitiyah, Al Utsaimin (1/384)

            Kemudian diantara salaf ada yang mengartikan استوى على dengan “istaqarra” yang berarti tinggal. Oleh karena itu Ibnul Qayyim dalam Nuniyah menjelaskan, dalam mengartikan kata istawa yang bersambung dengan“ala” salafus shalih tidak keluar dari empat kata; “ala”, “irtafa’a”, “sha’ida” & “istaqarra”

            Al Utsaimin berkata; “Jika kamu ditanya “Apa makna istiwa’ menurut mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah)?” Maknanya adalah “al uluw & al istiqrar”. Terdapat pada kaum salaf makna istiwa’ sampai 4 tafsiran. Yang pertama; “ala”, kedua; “irtafa’a”, ketiga; “sha’ida” dan keempat; “istaqarra”. Tapi 3 yang pertama artinya sama (naik), sedangkan kata “istaqarra” diperselisihkan. (Al Washitiyah (1/375)Dan diantara ulama yang mengingkarinya (kata “istaqarra”) adalah Adz-Dzahabi, tapi Ibnu Taimiyah menghikayatkan dari banyak ulama salaf yang mengartikannya (istiwa’) dengan “istaqarra”. (Al Washitiyah, Harras 148)

            Dalam buku Klaim Dusta Salafi Wahabi tentang Akidah Salaf, setelah membawakan tafsiran salafi terhadap istiwa’ dan tafsiran Asya’irah yang mengartikan istiwa’ dengan istaula (menguasai) Nur Hidayat Muhammad, sang penulis mengatakan;

“Sampai sini kita tahu, dua kelompok teologi ini memang menta’wil ayat sifat, istawa. Dan menjadi jelas pula ternyata salafi tidak konsisten dengan pendapat awal mereka yang sangat menentang ta’wil dan mengagungkan madzhab itsbatnya.” (halaman 226)

Benarkah salafi menta’wil ayat sifat seperti yang dituduhkan? Apabila yang dimaksud dengan ta’wil adalah melarikan makna lafal dari lahirnya seperti yang dilakukan Asya’irah terhadap sifat istiwa’ jawabannya; tidak. Karena tafsir salafi terhadap kata istiwa’ dengan artian yang telah disebutkan diatas adalah tafsir yang sesuai dengan makna lahirnya. Dan seperti inilah mazhab salaf.

Ibnu Taimiyah berkata; “Mazhab salaf Ridhwanullahi ‘Alaihim adalah menetapkan (itsbat) sifat-sifat dan memberlakukannya sesuai (makna) lahirnya dan menafikan kaifiyah darinya.” Yakni tidak menanyakannya (kaifiyah)

Al Walid bin Muslim berkata; Aku bertanya kepada Al Auza’i (w. 157 H), Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H), Malik bin Anas (w. 179 H) dan Laits bin Sa’ad (w. 175 H) tentang hadits-hadits yang berbicara tentang sifat (Allah), ru’yah dan Al Qur’an. Semuanya berkata; “Biarkan sebagaimana datangnya tanpa kaif (menanyakan kaifuyahnya)” yakni pahami sesuai makna lahirnya.

Ahmad bin Nashr berkata kepada Sufyan bin Uyainah (w. 198 H); “Wahai Aba Muhammad, aku ingin bertanya; Apa pendapatmu tentang hadits-hadits seperti “hati-hati berada di antara jari jemari Ar-Rahman” dan bahwa Allah tertawa, heran…?” Beliau menjawab; “Biarkan sebagaimana datangnya tanpa kaif.”

Ia (Ibnu Uyainah) juga berkata; “Segala sesuatu yang dengannya Allah sifati dirinya di dalam Al Qur’an tafsirannya adalah dengan membacanya, tanpa kaif dan mempermisalkannya.” Dan dalam riwayat lainnya; “…tafsirannya adalah dengan membacanya dan diam darinya.” (Akidah Salaf fi Ash-Shifat.)

Perkataan salaf tentang hal ini banyak sekali, semuanya menunjukkan bahwa makna lahir dari nash-nash sifat bukan ta’wil sama sekali termasuk dalam hal ini makna istiwa dengan “ala”, “irtafa’a”, sha’ida” dan “istaqarra” sebagaimana dipahami dari bahasa Arab.

Al Imam Al Laalika’i (w. 418 H) meriwayatkan dengan sanadnya dari Daud bin Ali, Abu Sulaiman bahwa ia berkata; Waktu itu aku berada di hadapan Abu Abdillah bin Al A’rabi, lalu datanglah seseorang yang berkata kepadanya; Apa makna firman Allah Azza wa Jalla;

 (الرحمن على العرش استوى)؟  Ar-Rahman beristiwa’ di atas arsy? Ibnu Al A’rabi menjawab; “Dia di atas arsy-Nya seperti yang Dia kabarkan.” Lalu orang itu berkata lagi; Wahai Aba Abdillah, bukan seperti itu maknanya. Maknanya adalah istawla (menguasai). Abu Abdillah berkata; “Diamlah kamu, tidak dikatakan istawla atas sesuatu (menguasainya) kecuali apabila ada lawannya. Apabila salah satunya menang, baru dikatakan; istawla (menguasai).” (Syarah Ushul Al I’tiqad (2/442))

            Al Imam Abu Utsman Ash-Shabuni (w. 449 H) berkata; “Ashhabul hadits meyakini dan bersaksi bahwa Allah Subhanahu di atas langit yang tujuh, di atas arsy-Nya beristiwa’ sebagaimana dikatakan oleh Kitab-Nya, lalu beliau membawakan ayat-ayat istiwa. Kemudian beliau melanjutkan; para ulama ummat dan imam-imam salaf rahimahumullah tidak berselisih bahwa Allah di atas arsy dan arsy-Nya di atas langit-langit Nya. Mereka menetapkan hal ini seperti yang Allah tetapkan, mengimaninya dan membenarkan berita-Nya. Mereka memutlakkan seperti yang Allah mutlakkan bahwa Dia beristiwa’ di atas arsy-Nya dan membiarkan maknanya sesuai lahirnya dan menyerahkan ilmunya kepada Allah (kaifiyah). Lalu beliau membawakan atsar Malik yang masyhur saat seseorang bertanya kepadanya tentang kaifiyah istiwa dan dijawab; Istiwa’ tidak tersembunyi (maknanya), sedangkan kaif (bagaimana) tidak diketahui. Beriman dengannya wajib dan menanyakannya (kaifiyah) bid’ah…dstnya” (Aqidatus Salaf wa Ash-haabil Hadits halaman 175,181)

            Kesimpulan uraian ini, tafsir salaf terhadap sifat istiwa’ Allah di atas arsy-Nya dengan 4 tafsiran adalah sesuai dengan makna yang dikenal dalam bahasa Arab dan bukan ta’wil sama sekali. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *