Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du;
Semua doa (permintaan) yang dipanjatkan (seseorang) kepada selain Allah dalam perkara yang hakikatnya tidak disanggupi kecuali oleh Allah, apakah yang diminta itu mayit, atau (orang hidup) tapi dia tidak hadir, atau (pada hakikatnya) tidak mampu (mengabulkan), adalah syirik besar. Maka barangsiapa minta kepada mayit, seperti orang yang bilang; Wahai Rasulullah, aku minta kepadamu agar Allah mengampuni aku, dia musyrik kafir. Hal ini karena dia bilang “Wahai Rasulullah” dan bukan “Ya Allah”. Dia musyrik kafir karena telah memberikan ibadah kepada selain Allah, yaitu doa (permintaan).
Tapi seandainya redaksinya “Ya Allah ampunilah aku dengan kemuliaan Rasulullah” hal ini bukan syirik besar karena dia tidak memberikan ibadahnya berupa doa kepada selain Allah karena yang dia seru adalah Allah, tapi dia bertawassul kepada Allah melalui dzat Rasulullah. Perbuatan ini adalah bid’ah yang mungkar yang bisa mengakibatkan dia terjatuh kepada syirik besar.
Sangat disayangkan, banyak orang keliru dalam perkara besar ini. Mereka mengatakan bahwa minta doa dari mayit bukan syirik besar, melainkan hanya sarana kepada kesyirikan. Sedangkan hakikatnya tidak demikian. Dalam hal ini mereka bersandar kepada ucapan yang samar dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menilai perbuatan ini hanya bid’ah. Lalu mereka mengira bid’ah disini bukan bid’ah yang merupakan kekufuran. Mereka telah keliru, karena Ibnu Taimiyah di tempat yang lain secara tegas mengatakan bahwa minta doa dari mayit adalah syirik besar yang mengusir pelakunya dari Islam. Dan telah menjadi kaidah di tengah Ahlussunnah bahwa dalam kasus yang seperti ini adalah mengembalikan yang samar (mutasyabih) kepada yang terang (muhkam) dan mengkompromikan antar teks (yang terkesan besebrangan).
Persoalan ini jelas hukumnya adalah syirik besar, karena bagaimana bisa dikatakan bukan syirik besar, sedangkan perbuatan ini adalah kesyirikan musyrikin dahulu itu sendiri yang mana dahulu mereka minta kepada sesembahan mereka agar sesembahan mereka itu minta kepada Allah karena menganggap bahwa sesembahan mereka lebih dekat kedudukannya dengan Allah daripada mereka sendiri. Allah Ta’aala berfirman; “Dan orang-orang yang mengambil selain Allah sebagai penolong-penolongnya, mereka berkata; Kami tidak mengibadahi mereka selain agar mereka mendekatkan diri-diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Qs. Az-Zumar; 3) dan Dia juga berfirman; “Mereka beribadah kepada selain Allah dari apa-apa yang tidak mencelakakan mereka dan tidak memberi mereka manfaat. Dan mereka berkata; Sesembahan-sesembahan itu adalah perantara-perantara kami di sisi Allah.” (Qs. Yunus; 18)
Syaikhul Islam telah menerangkan hal ini dengan sangat jelas dalam Majmu’ Fatawa (1/126);
“Apabila kamu menetapkan perantara-perantara antara Allah dengan makhluk-Nya, seperti para hujjab (ajudan/menteri) yang ada antara raja-raja dan rakyatnya, dimana mereka melaporkan kepada Allah hajat-hajar makhluk-Nya sehingga diyakini bahwa Allah memberi hidayah kepada hamba-hambaNya dan memberi rezeki kepada mereka dengan sebab perantara-perantara itu. Sehingga para hamba minta kepada perantara lalu perantara itu minta kepada Allah, seperti fungsi para perantara yang ada disisi para raja. Mereka minta kepada raja hajat-hajat rakyatnya karena kedekatan si perantara itu dengan raja. Sedangkan rakyat mintanya kepada perantara-perantara itu karena menjaga adab dari minta langsung kepada raja, atau karena minta kepada mereka lebih cepat dikabulkan (oleh raja) dari pada mereka minta secara langsung kepada raja, karena perantara itu lebih dekat dengan raja daripara antara dia yang punya hajat dengan sang raja. Barangsiapa menetapkan adanya perantara seperti ini maka dia kafir, musyrik, wajib dituntut bertaubat, jika tidak maka dibunuh. Mereka ini telah menyerupakan Allah, menyerupakan makhluk dengan Al Khaliq, dan menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan.”
Samahatul Imam Ibn Baz rahimahullah telah menerangkan maksud perkataan Ibnu Taimiyah yang menjadi ganjalan bagi sebagian orang ini, beliau ditanya;
“Banyak dari penuntut ilmu memahami kesyirikan adalah minta hajat dari mayit. Tapi kalau minta syafaat dan doa dari mayit, yakni minta si mayit mendoakannya mereka mengatakan; ini bukan kesyirikan, tapi hanya bid’ah saja.”
Beliau menjawab; “Perbuatan ini termasuk syirik besar. Mayit tidak bisa mendoakannya dan tidak bisa memberinya syafaat. Semua mereka tergadai dengan amal perbuatannya sendiri-sendiri. Minta doa dan syafaat (dari mereka) hanya bisa disaat hidupnya saja. Oleh karena itu saat Umar minta doa diturunkan hujan dia minta dari shahabat bukan kepada nabi, agar beliau memberi syafaat kepada mereka (agar diturunkan hujan). Tapi Umar minta doa kepada Abbas dan Yazid bin Al Aswad. Seandainya minta dari orang mati disyariatkan tentu Umar sudah minta melalui Nabi dan berkata; Doakan kami wahai Rasulullah… (Syarh Kasyf Syubuhat, Syaikh Ibn Baz halaman 52)
Lalu beliau ditanya; Sebagian orang mengatakan bahwa ini pendapat Ibnu Taimiyah!
Beliau menjawab; Ibnu Taimiyah terang-terangan mengatakan bahwa ini adalah syirik besar! (halaman 64)
Al ‘Allamah Al Wazir Shalih Alu Syaikh ditanya; Orang yang minta kepada nabi agar beliau mendoakannya dan minta untuknya ampunan kepada Allah setelah ia wafat, apakah ini kesyirikan?
Beliau menjawab; Iya, ini syirik besar. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak diboleh diseru setelah wafatnya. Maka minta doa dari mayit, atau minta doa agar diselamatkan atau agar diturunkan hujan, yakni agar si mayit berdoa kepada Allah agar Dia menurunkan hujan, atau agar Allah mengampuni dosa, agar mengabulkan permintaan dan seterusnya semua ini masuk ke dalam pengertian berdoa. Allah Ta’aala berfirman;
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Qs. Jin; 18)
Barangsiapa mengatakan doa dalam bentuk seperti ini berbeda dengan berdoa yang merupakan kesyirikan sesungguhnya dia telah membatalkan pokok tauhid semuanya dalam persoalan ini. Karena semua bentuk permintaan, minta doa yakni minta kepada mayit agar berdoa, minta kepada mayit ampunan, atau minta pertolongan dan seterusnya semuanya berada dalam satu bab yakni permintaan. Karena permintaan adalah doa, ia masuk ke dalam firman Allah Ta’aala;
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Qs. Al Mukmun: 117)
Dan juga firman-Nya;
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Qs. Fathir: 13)
Dan ayat-ayat lainnya yang semisal. Maka membedakan antara dua persoalan ini bertabrakan dengan dalil.
Barangsiapa memahami dari ucapan para imam kami adanya perbedaan dan bahwa minta doa dari mayit hukumnya bid’ah itu bukan berarti perbuatan ini bukan kesyirikan. Melainkan ia adalah bid’ah yang syirik. Yakni dahulu orang-orang jahiliyah tidak pernah melakukannya. Dahulu mereka mendekatkan diri (kepada berhala-berhala) dengan maksud agar (sesembahan itu) mendoakan mereka. Adapun minta kepada mayit (agar berdoa) ini bid’ah (baru), tidak pernah ada sama sekali pada kaum jahiliyah dulu maupun ummat Islam. Maka ia tidak diragukan adalah bid’ah. Tapi bid’ah disini bid’ah kufriyah syirkiyah. Gambarannya adalah minta syafaat. Gambaran syafaat seperti apa yang jika diminta dari selain Allah pelakunya jadi musyrik? Syafaat adalah minta doa, minta doa dari mayit inilah syafaat itu. (Syarh At-Thahawiyah 2/1437)
Al Imam Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata; Diantara syubhat yang sering dijadikan sandaran adalah persoalan syafaat. Dimana mereka mengatakan; Kami bukan menginginkan agar para wali dan orang-orang shalih memenuhi hajat kami disamping Allah. Tapi kami hanya ingin mereka memberi syafaat kepada kami disisi Allah. Karena mereka adalah orang-orang shalih dan pemilik kedudukan yang tinggi disisi Allah. Jadi kami menginginkan dengan sebab kedudukan dan syafaat mereka.
Jawabannya adalah bahwa ini persis dengan perkataan musyrikin dahulu, dalam membenarkan apa yang mereka perbuat. Mereka telah Allah kafirkan dan dinamakan musyrikin seperti yang Allah firmankan dalam kitab-Nya;
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (Qs. Yunus: 18)
(Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad halaman 70-71)
Dan Allah telah memudahkan kami bertanya kepada Fadhilatus Syaikh Abdurrazzaq Al Badr hafidzahullah di Masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada tahun 1440 H sesudah pelajarannya yang semarak tentang syubhat ini yang seringkali diulang-ulang oleh sebagian orang. Beliau hafidzahullah menjawab; Ini adalah syirik besar!
Penyusun; Abdul Lathif Ar-Rawi
Penerjemah; Jafar Salih