Berhati-hati dalam Takfir bukan Berarti Membela Orang Kafir dan Murtad

Penulis kitab Al Furuq baina Aqidatis Salaf wa Aqidatil Murji’ah fil Iman menjelaskan bahwa sebagian orang memutlakkan ajakan berhati-hati dari pengkafiran. Beliau mengatakan ajakan ini baik, tapi jangan dijadikan alasan untuk membela orang-orang yang Allah kafirkan dan murtad. Simak keterangan beliau karena padanya terdapat rincian yang bagus.

Persoalan ketiga; Sebagian orang memutlakkan ajakan untuk berhati-hati dalam masuk kedalam bab takfir

Ini baik pada babnya. Karena yang menjadi asal adalah wajib atas setiap muslim bersikap wara’ (hati-hati) dari berbicara atas agama Allah pada semua persoalan dari persoalan-persoalan agama. Karena Allah Ta’aala berfirman; “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Qs. Al Israa’: 36). Sedangkan takfir adalah hukum syar’i, maka wajib tatsbabbut dan tabayyun (krosscek) dan berhati-hati agar seorang muslim tidak mengatakan atas agama Allah apa yang tidak dia ketahui, sehingga terjatuh ke dalam kesesatan yang besar.

Maka yang wajib adalah berhati-hati dari tergesa-gesa dalam melontarkan takfir kepada orang yang tidak terpenuhi sifatnya. Karena pada sikap tergesa-gesa dalam hal ini terdapat bahaya yang besar dan dampak yang buruk. Hanya saja sikap kehati-hatian tidak boleh dijadikan alasan dalam membela orang-orang kafir dan murtad dengan alasan tidak tergesa-gesa dalam takfir. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim tidak canggung dalam mengkafirkan orang yang melakukan kekufuran yang terang dan jelas seperti para penyembah kuburan dari orang-orang yang telah disepakati oleh para ulama akan kekufuran dan kemurtadan mereka.

Yang menjadi bukti akan hal ini adalah bahwa para ulama Al Lajnah Ad-Daa’imah dibawah kepemimpinan Al ‘Allamah  Abdul Aziz bin Baz rahimahullah telah berfatwa bahwa ucapan aazirun (orang-orang yang memberi udzur) kepada quburiyun adalah ucapan kufur. Karena pada yang demikian itu terdapat sikap abstain dalam mengkafirkan orang-orang yang telah disepakati oleh ulama akan kekafirannya, dan kekafirannya ma’lum minad-diin bid-dharuurah.

Para ulama Al Lajnah berkata; Dan dengan ini diketahui, bahwasanya tidak boleh bagi sekelompok muwahhidin yang meyakini kafirnya penyembah kuburan untuk mengkafirkan saudara-saudara mereka para muwahhidin yang abstain dalam mengkafirkan mereka sampai ditegakkan atas mereka hujjah. Karena sikap abstain mereka dari mengkafirkan penyembah kuburan karena terdapat syubhat, yaitu mereka meyakini bahwa harus ditegakkan hujjah atas para penyembah kuburan itu sebelum mereka dikafirkan. Berbeda dengan orang (kafir) yang kekufurannya tidak ada syubhat seperti Yahudi, Kristen dan orang-orang komunis dan yang semisal dengan mereka. Mereka ini tidak ada syubhat dalam kekafirannya dan juga dalam kekafiran orang yang tidak mau mengkafirkannya.[1]

Dan fatwa ini dijelaskan kembali oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dengan perkataannya; Yang dimaksud adalah muwahhid yang abstain dari mengkafirkan para penyembah berhala tidak dikafirkan sampai hujjah itu tegak atas dia dan sampai diterangkan kepada dia sebab-sebab kufurnya penyembah kubur dan sampai jelas baginya sebab-sebab kekufuran mereka. Ini maksudnya. Karena dia mungkin abstain karena menyangka mereka bukan orang-orang kafir. Maka apabila telah dijelaskan kepadanya hal ini dan menjadi jelas baginya hal ini, jadilah dia seperti orang yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Kristen. Dan barangsiapa mengatakan bahwa Yahudi dan Kristen bukan kafir sedangkan dia termasuk orang yang mengenak dalil-dalil syar’i dan termasuk dari ahli ilmu, dijelaskan kepadanya sampai mengetahui bahwa mereka kafir. Apabila dia ragu akan kekafiran mereka dia kafir. Karena orang yang ragu akan kekafiran orang kafir yang jelas kekafirannya, kafir.[2]

Maka berdasarkan ini jelaslah bahwa kehati-hatian ada babnya yaitu para perkara yang ada kerancuan dan kesamaaran. Adapun dalam perkara yang jelas berdasarkan nas-nas Al Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ ulama sikap kehati-hatian dalam hal ini ini adalah tipu daya setan, setan menipu sebagian orang agar berpaling dari mengamalkan nas-nas yang terang dan ijma’ ulama.

Adapun perkara yang mengandung kesamaran, maka yang wajib adalah berhati-hati dari tergesa-gesa mengambil sikap dalam mengkafirkan muslimin karena persoalan itu. Karena yang menjadi hukum asal pada seorang muslim adalah bersih dari kekufuran, keislamannya tetap selagi dia tidak mendatangkan kekufuran yang terang. Karena itu terdapat pada nas-nas dan ucapan para ulama yang menunjukkan bahayanya tergesa-gesa dalam takfir. Dan yang demikian ini berlaku pada kondisi berbicara tentangnya tanpa alasan yang benar dan tanpa landasan ilmu.

Maka menjadi jelaslah bahwa menilai kufur terhadap keyakinan, atau perbuatan, atau ucapan dan memberlakukannya kepada person-person sumbernya adalah Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman dan kaidah-kaidah salaf us shalih, bukan berdasarkan pemikiran dan pandangan-pandangan atau prasangka dan hawa nafsu. Maka orang kafir adalah orang yang Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jadikan dia kafir, sebagaimana mukmin adalah orang yang Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jadikan dia mukmin.[3]

[1] Majmu’ Al Fatawa (2/151)

[2] Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darb. Silahkan lihat ke situs Asy-Syaikh di internet; http://www.binbaz.org.sa/noor/9252

[3] Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam (5/92) dan lihat Ar-Rad ‘Alal Bakri (halaman 259) dan Al ‘Aqidah Ath-Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izz (halaman 357)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *