Dalam persoalan ini Dr. Ar-Rayyis mengklaim bahwa pendapatnya selaras dan sejalan dengan mazhab para imam. Dia juga banyak menukil dari mereka dengan nukilan yang terpotong dan memahaminya dengan takwilan yang tidak benar. Diantara perkataannya dalam hal ini adalah;
“Nukilan sebagian perkataan-perkataan ahli ilmu tentang Udzur bil Jahl dalam perkara yang terang, bukan samar. Yaitu perkara syirik akbar dalam tauhid uluhiyah;[1]
1- Al Imam Asy-Syafi’i berkata; “Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab kejahilan kecuali setelah sampai kepadanya keterangan.” Thabaqat Al Hanabilah (1/284)
2- Al Imam Ibnu Taimiyah berkata membantah Al Bakri (halaman 377); Maka sesungguhnya kami setelah mengetahui apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui secara darurat. Bahwa ia tidak mensyariatkan bagi ummatnya untuk menyeru seorang pun dari orang-orang mati. Tidak para nabi maupun orang-orang shalih, atau selain mereka. Tidak dengan ucapan istighatsah atau selainnya. Tidak dengan ucapan isti’adzah atau selainnya. Sebagaimana dia tidak mensyariatkan bagi ummatnya untuk sujud kepada mayit atau selainnya. Dan kami mengetahui bahwa dia telah melarang darinya. Dan bahwa itu termasuk kesyirikan yang Allah dan rasul-Nya telah haramkan. Tapi karena merebaknya kejahilan dan sedikitnya ilmu terhadap sisa-sisa risalah pada kebanyakan orang-orang belakangan, tidak mungkin mengkafirkan mereka dengan sebab itu sampai jelas bagi mereka apa yang dibawa oleh rasul dari apa-apa yang menyelisihinya.”
3- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata pada jilid 1 dari Ad-Durar As-Sanniyyah halaman 66; “Dan apabila kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada di atas (kuburan) Abdul Qadir dan berhala yang berada di atas kuburan Ahmad Al Badawi karena kejahilan mereka dan tidak ada yang menerangkan kepada mereka. Maka bagaimana kami mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah apabila dia tidak hijrah ke tempat kami atau tidak ikut mengkafirkan dan tidak ikut memerangi. Maha suci Engkau, ini adalah kedustaan yang besar.”
Catatan dan sanggahan;
Anggapan Doktor ini, semoga Allah menunjukinya dimana dia menganggap bahwa para ulama yang dia sebut namanya mencocoki mazhabnya bahwa orang jahil diberi udzur karena kejahilannya, dan orang yang terjatuh ke dalam kesyirikan besar dinamakan muslim. Anggapan ini adalah batil. Bagaimana bisa orang yang beribadah kepada kuburan, atau berhala, atau orang yang menyeru selain Allah disebut muslim?! Maksud para ulama tersebut, semoga Allah merahmati mereka adalah, bahwa orang jahil yang diberi udzur karena terjatuh kepada kesyirikan besar tidak kafir dengan kekufuran yang dia diadzab diatas kekufurannya di dunia sampai ditegakkan atasnya hujjah, disamping dia disebut kafir. Adapun di akhirat nasibnya kembali kepada Allah. Karena itu pembaca tidak mendapati pada ucapan para ulama yang dinukil oleh Doktor bahwa mereka terang-terangan mengatakan orang jahil yang diberi udzur disebut muslim, tapi mereka menggunakan redaksi “kami tidak kafirkan” atau “tidak kafir” dan yang semisalnya.
Allah telah memisahkan antara kondisi sebelum datangnya risalah dengan setelahnya dalam penamaan-penamaan dan hukum-hukum. Sebagaimana Dia menggabungkan keduanya pada nama-nama dan hukum-hukum.[2] Diantara perkataan para ulama berkaitan dengan hal ini adalah;
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; Allah Ta’aala mengabarkan tentang Hud bahwa ia berkata kepada kaumnya; “…sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (Qs. Hud: 50). Maka Dia menjadikan mereka sebagai kaum yang mengada-ada sebelum menjelaskan hukum yang mereka selisihkan. Karena mereka telah menjadikan disamping Allah sesembahan lain. Maka nama musyrik berlaku sebelum turun risalah. Karena sesungguhnya dia telah menyekutukan Rabnya dan menyamakan-Nya (dengan selain-Nya) dan menjadikan disamping Allah sesembahan-sesembahan yang lain. Dan dia menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan sebelum (datangnya) rasul. Jelaslah bahwa nama-nama ini berlaku sebelum ada risalah. Begitu pula nama kejahilan dan jahiliyah. Dikatakan; jahiliyah dan jahil sebelum datangnya rasul. Adapun adzab tidak.[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; Allah akan memutuskan diantara hamba-hamba Nya di hari kiamat dengan hukum dan keadilan-Nya. Dia tidak menghukum kecuali orang yang telah tegak atasnya hujjah-Nya dengan para rasul. Dan yang demikian ini berlaku pada keumuman ciptaan-Nya. Adapun keadaan Zaid secara personal dan ‘Amr, apakah hujjah telah tegak atasnya atau belum, yang demikian ini perkara yang seseorang tidak mungkin turut campur antara Allah dengan hamba-hamba Nya. Melainkan yang wajib atas seseorang adalah meyakini bahwa siapa saja yang beragama dengan selain agama Islam maka dia kafir. Dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala tidak menghukum seorang pun kecuali setelah hujjah tegak atasnya dengan rasul. Ini hukum umum. Sedangkan ta’yin (orang per orang) perkaranya kembali kepada ilmu Allah dan hukum-Nya. Dan ini berlaku berkenaan dengan persoalan ganjaran dan hukuman. Adapun berkenaan dengan hukum-hukum dunia, maka ia berlaku sesuai lahiriyah keadaan. Maka anak-anak orang kafir dan orang-orang gila mereka kafir menurut hukum dunia. Hukum mereka mengikut wali-walinya. Maka dengan rincian ini hilanglah kepelikan dalam persoalan ini.[4]
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata; Person tertentu apabila mengucapkan sesuatu yang menjadikannya kufur tidak dikatakan kafir sampai tegak atasnya hujjah yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Ini berlaku pada masa’il khafiyyah (persoalan-persoalan yang samar) yang tersamarkan dalilnya atas sebagian orang. Adapun perkara yang mereka terjatuh padanya dari masa’il dhahirah (persoalan-persoalan yang terang), atau yang dikenal darurat dalam agama (ma’lum minad diin bid dharurah), yang seperti ini tidak boleh abstain dari mengkafirkan orang yang mengucapkannya.[5]
Asy-Syaikh Husain dan Abdullah, keduanya adalah anak dari Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata; Barangsiapa yang wafat dari pelaku kesyirikan sebelum sampainya dakwah ini, hukum atasnya adalah; apabila dia dikenal mengerjakan kesyirikan dan beragama dengannya dan mati diatasnya, maka orang ini lahirnya mati di atas kekufuran. Maka dia tidak didoakan, tidak disembelihkan baginya hewan kurban, tidak disedekahkan atasnya. Adapun hakikat keadaannya kembali kepada Allah Ta’aala. Apabila hujjah telah tegak atasnya semasa hidupnya kemudian membangkang maka dia kafir lahir batin. Sedangkan apabila belum tegak hujjah atasnya maka nasibnya kembali kepada Allah.[6]
Abdul Lathif bin Abdurrahman berkata; Kondisi belum tegak hujjah tidak merubah nama-nama syar’i. Bahkan apa-apa yang disebut oleh syariat sebagai kekufuran, atau kesyirikan, atau kefasikan disebut dengan namanya yang syar’i dan tidak menafikannya darinya sekalipun pelakunya tidak dihukum apabila hujjah belum tegak atasnya. Maka berbeda antara keadaan suatu dosa itu kekufuran dengan pengkafiran pelakunya.[7]
Telah
berlalu dari perkataan Al Lajnah Ad-Da’imah; Maka keterangan dan
penegakan hujjah adalah sebagai penangguhan atasnya sebelum menjatuhkan
eksekusi, bukan untuk dinamakan sebagai kafir setelah adanya penjelasan. Karena
sesungguhnya seseorang dinamakan kafir disebabkan apa yang dia lakukan berupa
sujud kepada selain Allah, atau bernadzar dengan nadzar qurbah, atau
menyembelih seekor kambing misalnya untuk selain Allah.[8]
[1] Saya nukil dengan ringkas seperti yang terdapat para kitab penulis Jawabi li Ba’dhil Fudhala’, halaman 12-20
[2] Majmu’ Fatawa (20/37)
[3] Majmu’ Al Fatawa (20/38)
[4] Thariq Al Hijratain, halaman 610
[5] Ad-Durar As-Sanniyyah (8/244)
[6] Ad-Durar As-Sanniyyah (10/142)
[7] Minhaj At-Ta’sis wat-Taqdis, halaman (316)
[8] Fatawa Al Lajnah (1/335)