Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; Cabang-cabang keimanan ada dua macam; ucapan dan perbuatan, begitu juga cabang kekufuran ada dua jenis; ucapan dan perbuatan.
Dan termasuk dari cabang-cabang keimanan yang berupa ucapan, cabang yang apabila hilang hilanglah keimanan. Dan begitu pula termasuk dari cabang yang berupa perbuatan adalah cabang yang apabila hilang hilang pula keimanan. Dan begitu pula cabang-cabang kekufuran yang berupa ucapan dan perbuatan.
Maka sebagaimana (seseorang) menjadi kafir dengan mendatangkan kalimat kekufuran dengan suka rela dan dia termasuk dari cabang kekufuran, maka begitu pula (seseorang) menjadi kafir dengan mengerjakan satu cabang kekafiran yang termasuk dari cabang-cabangnya seperti sujud kepada berhala dan menghinakan mushaf, ini adalah pondasi.
Dan disini ada pondasi lain, yaitu bahwa hakikat keimanan terdiri dari ucapan dan perbuatan. Ucapan ada dua; ucapan hati yaitu keyakinan, dan ucapan lisan yaitu mengucapkan kalimat keislaman. Sedangkan amal perbuatan ada dua; amalan hati yaitu niat dan keikhlasannya, dan amalan anggota badan. Maka kapan keempat unsur ini hilang, hilanglah keimanan seluruhnya.
Dan apabila hilang pembenaran hati, tidak bermanfaat unsur-unsur lainnya. Karena pembenaran hati adalah syarat dalam meyakininya dan syarat menjadikannya (keimanan) bermanfaat. Dan apabila hilang amalan hati disertai dengan meyakini kebenaran, ini adalah ajang peperangan antara Murji’ah dan Ahlussunnah.
Ahlussunnah sepakat akan hilangnya keimanan dan bahwa keimanan tidak berguna disamping pembenaran yang diikuti dengan hilangnya amalan hati berupa kecintaan dan ketundukannya, sebagaimana tidak berguna bagi Iblis, Fir’aun dan kaumnya, orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang mereka meyakini kebenaran rasul, bahkan mengakuinya diam-diam maupun terang-terangan, dan mengatakan dia bukan pendusta tapi kita tidak mengikutinya dan tidak beriman dengannya.
Maka apabila keimanan hilang dengan hilangnya amalan hati, bukan mustahil iman juga hilang dengan hilangnya amalan anggota badan yang paling besar, terlebih lagi apabila amalan itu konsekwensi dari hilangnya kecintaan hati dan ketundukannya yang mana dia merupakan konsekwensi akibat hilangnya pembenaran yang kuat sebagaimana telah lalu penegasannya. Karena dengan hilangnya ketaatan hati konsekwensinya adalah hilangnya ketaatan anggota badan. Karena jika hati mentaati dan tunduk anggota badan pun menjadi taat dan tunduk. Dan konsekwensi dari hilangnya ketaatan anggota badan dan ketundukannya, hilangnya pembenaran yang melahirkan ketaatan itu. Dan ini adalah hakikat keimanan. Karena keimanan bukan sekedar pembenaran sebagaimana telah dijelaskan. Tapi dia adalah pembenaran yang melahirkan ketaatan dan ketundukan. Dan seperti ini juga petunjuk, dia bukan sekedar mengenali kebenaran dan jelas baginya, bahkan ia adalah mengenalinya yang berakibat mengikutinya (jalan petunjuk) dan mengamalkan sesuai tuntutannya.
Meskipun yang pertama dinamakan petunjuk tapi dia bukan petunjuk yang sempurna yang menjadikan seseorang ikut, sebagaimana meyakini kebenaran sekalipun dinamakan pembenaran tapi ia bukan pembenaran yang melahirkan iman. Maka wajib bagimu mengulang-ulang pondasi ini dan memperhatikannya
Kitab As-Shalat wa Hukmu Taarikiha oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah (halaman 54)
Dinukil dari kitab Al Furuq (halaman 76-77)