Kelahiran pemahaman Irja’, perkembangan dan hakikatnya

Bid’ah al irja’ lahir pada akhir masa shahabat Radhiyallahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; Kemudian pada akhir masa shahabat lahirlah qadariyah yakni pada akhir masa Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Jabir dan para shahabat lainnya seperti mereka. Dan murji’ah lahir dekat dengan masa itu.[1]

Kelahiran ini terjadi setelah munculnya perselisihan pertama di tengah ummat. Yaitu tentang hukum amalan dan masuknya amalan ke dalam penamaan iman, dan perselisihan tentang pelaku dosa besar.

Pada awalnya muncul sekelompok orang dari fuqaha di Kufah, mereka mengeluarkan amalan dari penamaan iman. Hammad bin Abi Sulaiman diantara orang yang pertama kali mencetuskan al irja’ ini dan menyebarkannya. Pendapatnya ini diikuti oleh sekelompok orang dari penduduk Kufah yang mengatakan bahwa amalan tidak termasuk ke dalam hakikat keimanan. Sehingga dengan begitu jadilah mereka menyelisihi salaf dalam hakikat keimanan.[2]

Hammad bin Abi Sulaiman bersama pengikutnya dari murji’ah fuqaha’ menganggap bahwa amalan diluar penamaan iman, hal ini disamping pengakuan mereka bahwa orang yang beramal mendapat pahala atas amalannya yang shalih dan dihukum atas amalannya yang jelek. Sehingga amalan shalih bagi mereka adalah buah dari keimanan. Termasuk juga keyakinan mereka bahwa orang yang mengerjakan amalan shalih mendapat pahala atas perbuatannya dan dihukum atas amalannya yang jelek. Dan keyakinan mereka akan wajibnya menunaikan faraidh dan menahan diri dari keharaman-keharaman. Itu semua bukan karena amalan bagian dari hakikat keimanan dan penamaannya, melainkan karena amalan-amalan adalah buah keimanan. Hanya saja keimanan (menurut mereka) tidak cedera karena meninggalkannya. Berbeda dengan keyakinan dan ucapan, (menurut mereka) keimanan tidak sah tanpa keyakinan hati dan pengakuan lisan. Sehingga mereka menyelisihi salaf pada perbuatan mereka yang mengeluarkan amalan dari penamaan iman. Mereka menganggap bahwa keimanan adalah pengakuan lisan dan pembenaran dengan hati. Mereka menganggap bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkuran dan bahwa keimanan satu bagian tidak terpisah. Dan ahli iman pada asal keimanannya sama, sedangkan perbedaan terjadi dengan sebab kekhusyu’an, ketakwaan dan menyelisihi hawa nafsu. Tapi ini semua bagi mereka bukan bagian dari iman sebagaimana telah lalu.  Bahwa ia termasuk dari buah-buah keimanan.[3]

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata; Sesungguhnya ahli irja’ mengatakan; Bahwa keimanan adalah ucapan tanpa amal.[4]

Waki’ rahimahullah berkata; Al Murji’ah adalah orang-orang yang mengatakan bahwa pengakuan (iqrar) mencukupi tanpa amal. Barangsiapa mengatakan ini dia telah kafir.[5]

Ibnu Baththah rahimahullah berkata; Al Murji’ah menyangka bahwa shalat dan zakat bukan termasuk dari keimanan. Allah Ta’aala telah mendustakan mereka dan menjelaskan penyimpangan mereka. Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu. Bahwa Allah Ta’aala tidak memuji orang-orang mukmin dan tidak mesifati apa yang dia persiapkan untuk mereka dari kenikmatan-kenikmatan yang abadi dan keselematan dari azab yang pedih, dan tidak mengabarkan mereka akan keridha’an-Nya terhadap mereka sampai nama keimanan itu mencakup tiga makna berikut, tidak terpisah satu sama lainnya dan tidak berguna salah satu tanpa yang lainnya, sampai keimanan itu mencakup ucapan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan dan pengenalan dengan hati. Berbeda dengan perkataan al murjiah sesat, dimana hati-hati mereka telah menyimpang dan akal mereka dipermainkan setan. Ini semua telah disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam sunnahnya.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; Hammad bin Abi Sulaiman dan para pengikutnya mengingkari perbedaan tingkatan iman dan bahwa amalan bagian dari iman dan al istitsna’ (pengecualian) dalam iman. Mereka dari golongan murji’ah fuqaha’. Adapun Ibrahim An-Nakha’i –imam ahli Kufah, guru Hammad bin Abi Sulaiman- dan yang setingkat dengannya dan orang-orang sebelumnya dari sahabatnya Ibnu Mas’ud seperti ‘Alqamah dan Al Aswad mereka adalah orang yang paling keras menyelisihi murji’ah. Tapi Hammad bin Abi Sulaiman menyelisihi para pendahulunya dan diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya. Dan ikut masuk ke dalam ajaran ini sekelompok dari penduduk Kufah dan orang-orang sesudah mereka. Kemudian sesungguhnya salaf dan para imam sangat keras mengingkari mereka dan membid’ahkan mereka dan mengucapkan kata-kata tajam terhadap mereka. Saya tidak mengetahui seorang pun dari salaf dan para imam yang mengkafirkan mereka. Bahkan mereka sepakat bahwa murji’ah fuqaha’ tidak dikafirkan pada penyimpangannya ini.[7]

Kemudian muncul Al Jahmiyah, para pengikut Jahm bin Shafwan. Menurut mereka keimanan adalah ma’rifah (pengenalan). Mereka menganggap barangsiapa mengenal Allah Ta’alaa berarti telah merealisasikan keimanan. Sekalipun tidak terdapat padanya amalan hati seluruhnya. Bahkan sekalipun tidak terdapat padanya amalan anggota badan semuanya. Dan bahkan sekalipun tidak terdapat padanya iqrar (pengakuan) dengan lisan. Mereka menganggap bahwa kemaksiatan tidak mencederai keimanan. Kelompok al jahmiyah ini adalah kuffar (orang-orang kafir) berdasarkan kesepakatan ahli ilmu.[8]

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata; Al Jahmiyah mengatakan bahwa keimanan adalah ma’rifah (pengenalan) tanpa ucapan dan tanpa amalan. Sedangkan Ahlussunnah berkata bahwa keimanan adalah ma’rifah, ucapan dan amalan.[9]

Waki’ rahimahullah berkata; Barangsiapa mengatakan bahwa niat cukup tanpa amalan maka dia kafir. Dan ini adalah pendapat Jahm.[10]

Kemudian lahirlah irja’ ahli kalam dari Al Karramiyah, Al Kullabiyah dan Al ‘Asya’irah dan Al Maturidiyah. Mereka menegaskan pada pengertian iman dengan arti yang menyerupai pendapat Al Jahmiyah dimana pendapatnya ini berbeda jauh sekali dengan pendapat salaf[11]. Akan datang pembicaraan akan sedikit dari persoalan ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; Pada akhir masa shahabat muncul Al Qadariyah dan Al Murji’ah, kemudian setelah berlalunya pembesar-pembesar tabi’in muncul Al Jahmiyah.[12]

Beliau rahimahullah berkata; Kemudian pada akhir masa shahabat terjadilah (fitnah) Al Qadariyah. Sebagian shahabat yang masih hidup berbicara tentangnya seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Watsilah bin Al Asqa’ dan selain mereka. Dan terjadi juga bid’ah Al Murji’ah dalam persoalan iman. Atsar-atsar dari shahabat jelas menyelisihi mereka dan bahwa mereka mengatakan keimanan bertambah dan berkurang sebagaimana yang didapati dari para shahabat.[13]

Beliau rahimahullah berkata; Kemudian ketika pada akhir masa shahabat pada pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik terjadilah dua bid’ah Al Murji’ah dan Al Qadariyah.[14]

Dan di dalam kitab As-Sunnah karya Abdullah bin Al Imam Ahmad Qatadah rahimahullah berkata; Terjadinya al irja’ setelah meletusnya fitnah kelompok Ibnu Al Asy’ats.[15] Dan fitnah Ibnu Al Asy’ats terjadi pada akhir masa shahabat Radhiyallahu ‘Anhum, setelah mayoritas pembesar shahabat telah meninggal dunia.

Dan fitnah Ibnu Al Asy’ats yang memerangi Al Hajjaj bin Yusuf, wakil Abdul Malik bin Marwan di Irak terjadi antara tahun 81 sampai 83 hijriyah[16]. Yakni ketika pembesar shahabat telah wafat dan bahkan mayoritas tabi’in. Dan tersisa tinggal pada shahabat muda Radhiyallahu ‘Anhum dan tabi’ut tabi’in rahimahumullah.

Demikianlah sejarah kemunculan Al Murji’ah dan perkembangannya, dan masih saja firqah-firqah al irja’ berupaya menyebarkan kebid’ahannya dan menyeru orang kepadanya. Dan keadaan Al Murji’ah saat ini mereka menampakkan penyimpangannya sambil menisbatkannya kepada salaf.

Diantara makar orang-orang murji’ah yang mengaku salafi adalah mereka menampakkan diri seolah membantah murji’ah dan memperingatkan ummat darinya (tahdzir) serta berlepas diri dari akidahnya. Tapi bersamaan denagn itu mereka menisbatkan al irja’ yang ada pada mereka kepada salaf dan menjadikan sekian persoalan yang merupakan kesepakatan di tengah kaum salaf sebagai perselisihan diantara mereka yang tidak boleh membid’ahkan atau menjelek-jelekkan. Seperti perkataan kafirnya orang yang meninggalkan amalan anggota badan seluruhnya, atau pendapat yang mengatakan bahwa amalan anggota badan merupakan rukun dalam keimanan. Mereka menyangka bahwa ucapan yang mengatakan kafirnya orang yang meninggalkan amalan keseluruhan adalah termasuk persoalan yang diperselisihkan di tengah kaum salaf! Dan diantara mereka ada yang mengklaim kesepakatan salaf (ijma’) bahwa orang yang meninggalkan amalan tidak kafir! Dan diantara mereka ada yang mengklaim bahwa amalan bagian dari keimanan, kemudian mengatakan setelahnya bahwa amalan adalah syarat sempurna iman (syartu kamal)! Dan diantara mereka ada yang menyangka berdakwah kepada tauhid dan memperingatkan dari kesyirikan, kemudian menetapkan adanya udzur bagi penyembah kuburan! Dan mengklaim bahwa salaf sepakat memberi udzur karena kejahilan secara mutlak kepada para penyembah kuburan sekalipun sudah paham hujjah dan sampai kepada mereka dalil, sampai tidak terdapat pada mereka syubhat yang menghalangi (pengkafiran) disertai pembangkangan (ishrar dan ‘inad) serta keridha’an terhadap kekufuran! Kemudian diatas pemahaman mereka ini mereka mensifati orang-orang yang menyelisihi mereka dalam pendapat bid’ah yang mereka sandarkan kepada salaf dengan kedustaan dan kepalsuan ini sebagai; takfiri dan khariji. Padahal orang-orang yang mereka tuduh dengan tuduhan tersebut berlepas diri dari akidah Al Khawarij dan manhaj mereka!

Kelompok murji’ah yang menisbatkan diri kepada salaf ini sangat menyelami al irja’ pada bentuk yang paling jelek, busuk dan bahayanya sebagaimana akan jelas pada buku ini.

Seperti inilah lahir dan berkembangnya akidah al irja’ dan hanya kepada Allah kami meminta untuk membungkam musuh-musuh Nya, menghinakan mereka dan menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya.


[1] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam (20/301)

[2] Idem (7/169)

[3] Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (7/394) (7/218) (7/261)

[4] As-Sunnah karya Abdullah bin Al Imam Ahmad (1/305)

[5] Majmu’ Fatawa (7/307)

[6] Al Ibanah Al Kubra (2/779)

[7] Majmu’ Fatawa (7/507)

[8] Ash-Sharim Al Maslul karya Syaikhul Islam (3/974) dan Al Fatawa (16/242)

[9] As-Sunnah oleh Abdullah bin Al Imam Ahmad (1/305)

[10] Majmu’ Fatawa (7/307)

[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (7/258-259) dan (7/120-189). As-Sunnah oleh Al Khallal (5/97) dan (5/122) dan Al Iman oleh Abu Ubaid (halaman 31-32)

[12] Bayan Talbis Al Jahmiyah (2/470-471)

[13] An-Nubuwat (2/577)

[14] Minhaj As-Sunnah (6/231)

[15] As-Sunnah (1/319 nomor 644)

[16] Al Bidayah wan Nihayah (12/305-349)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *