Perbuatan Orang-orang di Kuburan Shalihin adalah Perbuatan Musyrikin Arab Dahulu

Setelah jelas bagi pembaca bahwa kesyirikan musyrikin yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari jenis tawassul yang syirik, pada bab ini kami utarakan keterangan para ulama Islam bahwa apa yang dilakukan sebagian orang di kuburan para wali dan orang shalih berupa beribadah kepada mereka dengan sujud kepadanya, menyembelih dan bernadzar untuknya serta ibadah-ibadah lainnya di zaman mereka adalah kesyirikan yang sama yang dilakukan orang-orang musyrikin terdahulu. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits-haditsnya, diantaranya;

لا تقوم الساعة حتى تضطرب أليات نساء دوس على ذي الخلصة

“Tidak akan datang kiamat sampai wanita kabilah Daus kembali menari di hadapan Dzilkhalashah.”[1]

Dan Dzailkhalashah adalah berhala kabilah Daus yang diibadahi di masa Jahiliyah.

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda,

لا يذهب الليل والنهار حتى تعبد اللات والعزى

“Tidak pergi siang dan malam sampai Latta dan Uzza kembali diibadahi.”[2]

Hadits-hadits ini dan hadits lainnya yang semisal mengabarkan realita akhir zaman dimana syaithan dan tentaranya berhasil menguasai anak manusia dan menggiringnya kembali kepada peribadahan kepada berhala. Karena itu Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat sebuah bab dalam Kitab Tauhid; Bab riwayat-riwayat yang datang bahwa sebagian ummat ini akan beribadah kepada berhala.

Adapun perkataan ulama yang menerangkan bahwa peribadahan kepada kuburan yang ada di zaman mereka adalah kesyirikan yang sama yang ada di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diantaranya;

1- Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’il Asy-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan Abu Syamah berkata dalam Al Bida’ wal Hawadits, “Dan seperti itu juga musibah yang menyebar, dimana syaithan menghiasi dimata kebanyakan orang perbuatan menghiasi dinding dan pilar-pilar dan memasang lampu-lampu di tempat-tempat khusus, dimana seseorang bercerita kepada mereka bahwa dia melihat di mimpinya di tempat itu seseorang yang dikenal sebagai orang shalih dan wali (berwasiat begitu). Lalu mereka melakukannya dan menjaganya disaat yang sama mereka menelantarkan kewajiban-kewajiban Allah dan sunnah-sunnah Nya. Dan mereka menyangka bahwa mereka mendekatkan diri (kepada Allah) dengan melakukannya. Kemudian kondisi ini semakin memburuk dimana tempat-tempat ini menjadi sakral di dalam hati-hati mereka, sehingga mereka mengharapkan syafaat bagi orang-orang sakit mereka dan diluluskan hajat keperluan mereka dengan memberikan nadzar kepadanya. Dan tempat-tempat itu berkisar antara mata air, pohon dan tembok.

Dan di negeri Damaskus, semoga Allah lindungi banyak didapati tempat-tempat seperti ini. Seperti Uwainatul Huma diluar Bab Tauma, dan ‘Amud Al Mukhallaq di dalam Bab Ash-Shaghir, dan pohon terlaknat yang sudah mati di luar Bab An-Nashr di pinggir jalan itu sendiri. Semoga Allah mudahkan orang-orang yang menebangnya dan mengangkat pokoknya. Alangkah serupanya dia dengan Dzatu Anwath yang terdapat di dalam hadits.

Kemudian beliau berkata;  Berkata Abu Bakr Ath-Thurthusi rahimahullah dalam Al Hawadits wal Bida’ saat berbicara tentang hadits pohon Dzatu Anwath, “Maka lihatlah semoga Allah merahmati kalian kapan kalian dapati pohon bidara atau pohon apa pun dimana orang-orang menjadikannya sebagai tujuan dan mengagungkannya, mengharapkan kesembuhan dan kesehatan bagi orang sakit mereka dari sisinya, itulah Dzatu Anwath maka tebanglah.”

Kemudian beliau berkata, “Saya kagum apa yang dilakukan Asy-Syaikh Abu Ishaq Al Jubainani rahimahullah seorang yang shalih di negeri Afrika pada tahun empat ratusan. Seorang shalih Abu Abdillah Muhamad bin Abil Abbas Al Mu’addib bercerita bahwa dahulu di dekatnya ada mata air yang dikenal dengan ‘Ainul ‘Afiyah. Dahulu orang-orang awam benar-benar telah terfitnah dengannya, mereka datang kesana dari tempat-tempat yang jauh. Orang yang sulit jodoh atau belum dapat anak dibawa kesana sehingga jadi fitnah. Abu Abdillah berkata, “Pada suatu malam saat saya sedang bergadang tiba-tiba saya mendengar Abu Ishaq adzan atau yang semisalnya. Lalu aku keluar dan aku dapati dia telah menghancurkan bangunan yang berada diatasnya. Dan dia mengumandangkan adzan subuh disana. Kemudian berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menghancurkannya untuk-Mu” sehingga tidak ada bangunan apa pun diatasnya.  Dan sejak saat itu tempat itu tidak pernah dibangun lagi hingga sekarang.”[3] –selesai

2- Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Saya lihat sebuah pasal yang bagus sekali dari Abul Wafa’ Ibnu ‘Aqil rahimahullah saya bawakan lafalnya disini.” Beliau berkata, “Ketika aturan agama dirasa berat oleh orang-orang jahil dan thugham mereka berpaling dari syariat kepada aturan yang mereka buat-buat sendiri untuk mereka agar mudah karena dengan itu mereka tidak berada dibawah aturan siapa pun.” Beliau berkata, “Mereka bagiku orang-orang kafir disebabkan aturan-aturan ini, seperti pengagungan terhadap kuburan-kuburan dan memuliakannya dengan cara-cara yang dilarang oleh syariat seperti memasang lampu-lampu dan menciuminya dan melingkarinya serta berbicara kepada penghuninya menyampaikan hajat-hajat dan menulis di kain-kain; Wahai tuanku perlakukan aku begini dan begitu. Dan mengambil tanah pekuburannya mengharapkan keberkahan. Dan melumuri wewangian ke kuburan-kuburan dan menempuh perjalanan menuju kesana, memasang kain di pohon-pohon mengikuti para penyembah Latta dan Uzza…dstnya” [4]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ighatsatul Lahafan saat mengingkari pengagungan terhadap kuburan, “Dan keadaan orang-orang musyrikin itu sampai kepada kondisi dimana sebagian kaum ekstremnya menulis buku yang diberi judul Manasik Al Masyahid (manasik kubur). Dan tidak diragukan bahwa ini berarti berpisah dengan Diinul Islam dan bergabung dengan agama para penyembah berhala.”[5]

Beliau –Ibnul Qayyim- rahimahullah juga berkata pada bab Taubat dari Syarh Al Manazil, “Adapun kesyirikan ada dua macam; besar dan kecil. Syirik besar tidak diampuni oleh Allah kecuali dengan bertaubat darinya. (Syirik besar) yaitu dengan mengambil selain Allah sebagai tandingan, dia mencintai tandingan itu seperti mencintai Allah. Bahkan kebanyakan mereka mencintai ilah-ilah mereka lebih besar daripada kecintaan kepada Allah, dan membenci orang-orang yang merendahkan sesembahan mereka dari syaikh-syaikh dengan kebencian yang lebih besar daripada ketika ada seseorang merendahkan Rabbul ‘Alamin. Kami telah menyaksikan hal ini dari mereka dengan sangat terang, dan selain kami juga.

Dan kalian dapati seorang dari mereka menyebut sesembahannya dengan lisannya setiap berdiri dan duduk, dan setiap sendiri atau dikeramaian dan dia tidak mengingkari hal itu. Dan menyangka bahwa dia adalah pintu hajatnya kepada Allah, pemberi syafaat baginya disisi Allah. Dan seperti inilah dahulu para penyembah berhala. Mereka sama dan serupa.

Kadar inilah yang terdapat di dalam hati-hati mereka dan diwariskan oleh orang-orang musyrikin apa pun sesembahan mereka. Mereka (musyrikin pertama) dahulu sesembahan-sesembahan mereka dari batu, dan selain mereka (musyrikin sekarang) sesembahan mereka dari manusia. Allah Ta’aala berfirman mengisahkan tentang pendahulu mereka, “Dan orang-orang yang mengambil selain Allah sebagai penolong-penolongnya, (mereka berkata) “Kami tidak beribadah kepada mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri-diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Qs. Az-Zumar; 3)

Inilah kondisi orang-orang yang mengambil selain Allah sebagai penolong (wali), dia menyangka bahwasanya wali itu mendekatkan dirinya kepada Allah. Alangkah sedikit orang yang selamat dari kondisi ini, bahkan alangkah sedikit orang yang tidak memusuhi yang mengingkarinya.

Dan perkara yang terdapat di dalam hati-hati mereka para musyrikin itu serta pendahulu mereka sebelumnya adalah bahwa ilah-ilah mereka memberi syafaat bagi mereka disisi Allah. Dan ini adalah kesyirikan itu!

Kemudian beliau berkata, “Dan Al Qur’an penuh dengan peringatan seperti ini. Tapi kebanyakan manusia tidak merasa masuknya realita keadaanya kepada yang dibicarakan Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an berbicara tentang kaum yang sudah berlalu dan peristiwanya tidak akan berulang. Inilah yang menghalangi hati mereka dari memahami Al Qur’an seperti yang dikatakan oleh Umar bin Al Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, “Tali-tali Islam akan terlepas seutas demi seutas apabila tumbuh di dalam Islam orang-orang yang tidak mengenal Jahiliyah.”

Demikianlah, karena apabila dia tidak mengenali kesyirikan dan apa yang dicela oleh Al Qur’an dan dijelaskan keburukannya dia terjatuh ke dalamnya dan menyetujuinya. Sedangkan dia tidak mengerti bahwa itulah yang dikerjakan ahli Jahiliyah dahulu. Sehingga dengan begitu terputuslah tali temali Islam. Kebaikan dianggap kemunkaran dan kemunkaran dianggap kebaikan. Bid’ah dianggap sunnah dan sunnah dianggap bid’ah. Dan seseorang dikafirkan karena keimanannya yang murni dan tauhidnya yang bersih, dan seseorang dibid’ah-bid’ahkan karena hanya mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan meninggalkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Siapa saja yang memiliki bashirah dan hati dia bisa melihat ini dengan jelas. Hanya kepada Allah kita mohon pertolongan.[6]

3- Muhammad bin Ismail Al Amir yang populer dikenal dengan Shan’ani (w. 1182 H), penulis Subulus Salam syarah terhadap Bulughul Maram berkata, “Dan begitu pula penamaan mereka kuburan dengan masyhad dan (penamaan mereka terhadap) orang yang mereka berikan kepadanya keyakinan-keyakinan dengan sebutan wali, itu semua tidak menjadikannya tidak disebut shanam dan watsan (berhala). Karena mereka telah memperlakukannya seperti perlakuan musyrikin (dahulu) kepada berhala-berhala mereka. Mereka thawaf mengelilingi (kuburan) mereka seperti thawaf jamaah haji di Baitullah Al Haram, dan menyentuhnya seperti jamaah haji menyentuh sudut-sudut Ka’bah (rukun yamani & hajar aswad) dan mereka berbicara kepada mayit dengan kata-kata kufur seperti; “atas Allah dan atasmu” dan mereka memanggil-manggil nama-nama mereka disaat sempit dan semisalnya. Dan setiap kaum memiliki orang yang mereka panggil-panggil. Penduduk Iraq dan India menyeru Abdul Qadir Al Jili, dan penduduk Tihamah ada di setiap negeri mereka mayit yang mereka panggil-panggil namanya. Mereka mengatakan; “Wahai Zaila’i, wahai Ibnu Ujail! Dan penduduk Makkah dan Tha’if memanggil-manggil; “Wahai Ibnu Abbas!” Penduduk Mesir memanggil-manggil; “Wahai Rifa’i, Wahai Badawi dan Saadah Al Bakriyah!” Penduduk Jibal memanggil; “Wahai Aba Thair!” Penduduk Yaman memanggil; “Wahai Ibna ‘Alwan!”

Dan disetiap kampung terdapat orang-orang mati yang mereka panggil-panggil dan mereka sebut-sebut namanya dan harapkan bisa mendatangkan kebaikan dan menolak kemudharatan. Ini semua adalah perbuatan orang-orang musyrikin (dahulu) dihadapan berhala-berhala mereka seperti yang kami katakan dalam bait-bait Najdiyah;

Dengannya mereka hidupkan kembali makna Suwa’ dan semisalnya

Yaghuts dan Wad, itu sejelek-jeleknya wud (cinta)

Mereka memanggil-manggil namanya saat sempit

Seperti orang yang sulit memanggil-manggil As-Shamad Al Fardi (Allah)

Berapa banyak mereka sembelih di altarnya sembelihan

Disembelih untuk selain Allah terang-terangan dengan sengaja

Berapa banyak yang thawaf di sekirar kuburan dengan menciumi

Dan menyentuh sudut-sudutnya dengan tangan.[7]

Beliau juga berkata, “Apabila kamu katakan; Apakah orang-orang yang memiliki keyakinan-keyakinan terhadap kuburan-kuburan dan para wali dan orang-orang fasik itu menjadi musyrik seperti orang-orang yang memiliki keyakinan terhadap berhala-berhala?

Saya katakan; “Iya! Telah terdapat pada mereka apa yang terdapat para orang-orang terdahulu dan mereka telah menyamai pendahulunya dalam hal ini bahkan melebihi mereka dalam keyakinan, ketundukan dan penghambaan, maka tidak ada beda antara mereka.”[8]

Beliau rahimahullah jugaberkata, “Dan kamu telah mengetahui dari uraian ini semua bahwa barangsiapa memiliki keyakinan terhadap pohon, atau batu, atau kuburan, atau malaikat, atau jin, atau orang hidup, atau orang mati bahwa dia bisa memberi manfaat atau mencelakakan, atau dia bisa mendekatkan (dirimu) kepada Allah, atau bisa memberi syafaat disisi-Nya pada suatu hajat dari hajat-hajat dunia dengan sekedar minta syafaat dan bertawassul kepada-Nya, kecuali seperti yang terdapat dalam hadits yang diperbincangkan tentang hak Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, atau yang semisalnya, sesungguhnya dia telah menyekutukan selain Allah dengan Allah dan meyakini apa-apa yang tidak halal untuk dia yakini seperti keyakinan orang-orang musyrikin terhadap berhala-berhala, apalagi orang-orang yang bernadzar dengan harta dan anaknya untuk orang mati, atau orang hidup, atau minta darinya apa-apa yang tidak diminta kecuali dari Allah dari kebutuhan-kebutuhan seperti kesembuhan dari penyakit atau munculnya orang yang hilang, atau meraih tujuan dari tujuan-tujuan, sesungguhnya ini adalah kesyirikan itu, yang dahulu dilakukan oleh para penyembah berhala.

Dan bernadzar dengan harta kepada mayit atau semisalnya, menyembelih untuk kuburan, dan bertawassul dengannya serta minta hajat-hajat darinya, itulah yang dahulu dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Mereka melakukan itu terhadap yang mereka namakan berhala, sedangkan para quburiyun melakukannya terhadap yang mereka namakan wali, kuburan dan masyhad (monumen). Padahal nama-nama tidak berpengaruh sama sekali, dan tidak merubah makna yang menyertainya baik secara bahasa, maupun akal dan syariat. Karena orang yang minum khamr yang dia namakan air sesungguhnya dia tidak minum sealin khamr. Dan hukuman baginya hukuman orang yang minum khamr. Bahkan bisa ditambah hukumannya karena pengkaburan dan kebohongan dalam penamaan.”

Beliau juga berkata, “Begitu pula penamaan kuburan dengan masyhad (monumen) dan menamakan orang yang disematkan kepadanya keyakinan-keyakinan dengan sebutan wali, itu semua tidak merubahnya dari nama aslinya sebagai shanam & watsan (berhala). Karena mereka memperlakukannya seperti perlakuan musyrikin kepada berhala-berhala mereka. Dan mereka thawaf mengelilinginya seperti thawafnya jamaah haji di Baitullah Al Haram, dan mereka menyentuh sesembahan-sesembahan itu seperti jamaah haji menyentuh rukun-rukun Ka’bah…”

Beliau juga berkata, “Para quburiyun dan orang-orang yang menyematkan keyakinan-keyakinan terhadap orang-orang jahil dan sesat itu, mereka telah menempuh jalannya musyrikin sejengkal demi sejengkal. Mereka meyakini pad amereka apa-apa yang tidak boleh diyakini selain kepada Allah. Mereka berikan sebagian harta mereka dan menempuh perjalanan menuju kuburan-kuburan mereka. Mereka berangkat dari negeri-negeri mereka untuk ziarah dan thawaf mengelilingi kuburan mereka. Mereka berdiri dengan ketundukan disisi kuburan-kuburan mereka, memanggil-manggil penghuninya disaat sempit dan menyembelih dalam rangka mendekatkan diri kepada mereka. Inilah macam-macam ibadah yang kami kenalkan kepada kalian. Dan saya tidak tahu apakah ada dari mereka yang sujud kepada berhala-berhala itu? Saya kira tidak mustahil bahwa ada dari mereka yang melakukan itu. Bahkan orang yang aku percayai mengabarkan kepadaku bahwa dia melihat orang yang sujud di depan pintu masyhad (monumen) seorang wali yang dia datangi dalam rangka mengagungkannya dan beribadah kepadanya dan orang-orang  bersumpah dengan nama-nama mereka. Bahkan apabila orang yang dituntut bersumpah dengan nama Allah mereka tidak terima darinya. Tapi apabila dia bersumpah dengan nama wali dari wali-wali mereka, mereka menerimanya dan mempercayainya. Dan seperti inilah dahulu para penyembah berhala.

4- Al ‘Allamah Al Mujtahid Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah (w. 1250 H) berkata, “Barangsiapa menyangka bahwa tidak terjadi darinya selain tawassul saja sedangkan orang itu mengatakan dengan lisannya “Wahai fulan” memanggil-manggil orang yang dia bangun padanya keyakinan-keyakinan dari orang-orang yang sudah mati, maka dia berdusta atas dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengingkari terjadinya perbuatan memanggil-manggil orang-orang mati, minta keselamatan melalui mereka secara langsung, hendaknya dia memberitahu aku apa makna yang sering kami dengar di sebagian negeri-negeri berupa tawassul dengan para wali dan orang-orang shalih, dan orang-orang yang didekatkan serta orang-orang yang diklaim sebagai wali. Adakah yang sanggup mengingkari ini, atau meragukannya?! Adapun selain daripada itu keadaannya lebih dahsyat dan merata lagi. Di setiap kampung ada mayit yang diyakini oleh penduduknya, mereka memanggil-manggil (namanya). Dan disetiap kota terdapat kelompok dari mereka, sampai-sampai mereka di tanah suci memanggil-manggil “Wahai Ibnu Abbas!” “Wahai Mahjub!” maka seperti apa kiranya di tempat lain?! Sungguh Iblis dan bala tentaranya –semoga Allah hinakan mereka-  telah menyelinap pada mayoritas ummat Islam dengan siasat yang menggoyahkan mereka dari Islam. Innaa lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un.[9]

5- Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah siang dan malam, kemudian menyeru nabi atau wali di sisi kuburannya maka dia telah mengambil dua ilah dan belum bersaksi dengan Laa ilaaha Illallah, karena ilah adalah al mad’uw (yang diseru) seperti yang dilakukan orang-orang musyrikun sekarang dikuburan Az-Zubair, atau Abdul Qadir atau selain mereka. Dan seperti yang dilakukan sebelum ini di kuburan Zaid dan selainnya.”[10]

6- Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah berkata dalam Al Kalimat An-Nafi’ah fil Mukaffirat Al Wa’qiah menukil ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’aad saat berbicara tentang faidah dari kisah perang Tabuk, “Diantaranya bahwa tidak boleh membiarkan tempat-tempat kesyirikan dan thaghut-thaghut apabila mampu untuk menghancurkannya, membatalkannya walau sehari. Karena itu merupakan syi’ar kekufuran dan kesyirikan. Dan dia adalah kemungkaran yang paling besar. Maka tidak boleh membiarkannya sama sekali jika memiliki kemampuan. Inilah hukum masyahid (monumen-monumen) yang dibangun diatas kuburan-kuburan yang dijadikan berhala dan thaghut-thaghut yang diibadahi disamping Allah. Begitu pula batu-batu yang dibuat untuk diagungkan dan dimintai keberkahan dan diberikan nadzar-nadzar dan diciumi, tidak boleh membiarkan satu pun darinya di muka bumi sedangkan seseorang mampu menghilangkannya. Dan banyak darinya kedudukannya seperti Latta dan Uzza dan Manat yang ketiga, atau lebih jelek lagi kesyirikan yang dilakukan disitu atau terhadapnya. Hanya kepada Allah kita minta pertolongan.

Dan tidak ada seorang pun dari pemuja thaghut-thaghut ini yang meyakini bahwa mereka menciptakan, memberi rezeki, atau menghidupkan dan mematikan. Yang dahulu dilakukan orang-orang musyrikin disisinya dan kepadanya adalah itu juga yang dilakukan saudara-saudara mereka dari orang-orang musyrikin sekarang disisi thaghut-thaghut mereka. Sehingga mereka mengikuti sunnah-sunnah orang-orang sebelum mereka dan menempuh jalan mereka selangkah demi selangkah, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga menjadi meratalah kesyirikan pada kebanyakan jiwa-jiwa manusia disebabkan merebaknya kejahilan dan tersamarkannya ilmu. Dan jadilah yang benar dianggap munkar dan yang munkar dianggap benar. Sunnah dianggap bid’ah dan bid’ah dianggap sunnah. Diatas ajaran seperti inilah anak-anak tumbuh besar, orang-orang dewasa menjadi tua. Dan hilanglah nilai-nilai kebenaran dan keterasingan Islam semakin menggila. Ulama sedikit, orang-orang bodoh dimana-mana. Dan keadaannya terus memburuk dan keputusasaan semakin menjadi-jadi. Dan tampaklah kerusakan di daratan dan lautan akibat yang diperbuat tangan-tangan manusia. Tapi akan tetap ada satu kelompok dari ummat Muhammad yang tegak di atas kebenaran, berjihad melawan kesyirikan dan kebid’ahan sampai Allah wariskan bumi dan apa-apa yang ada diatasnya kepada mereka. Dan mereka sebaik-baik yang mewarisi.”

Asy-Syaikh Abdullah rahimahullah berkata, “Perhatikanlah ucapan ini, semoga Allah merahmatimu dan perhatikan juga keterangan di dalamnya bahwa apa yang dilakukan disisi masyahid (monumen-monumen) dan kubah-kubah yang ada diatas kuburan-kuburan di banyak negeri itulah kesyirikan besar yang dahulu dilakukan oleh orang-orang musyrikun. Dan bahwa banyak darinya yang kedudukannya seperti Latta, Uzza dan Manat dan bahkan lebih jelek lagi kesyirikannya dibandingkan kesyirikan para penyembah Latta, Uzza dan Manat. Dan (perhatikan) penegasannya bahwa mereka melakukan perbuatan musyrikin dan mengikuti jejak langkah mereka selangkah demi selangkah. Dan perhatikan juga perkataannya; Kesyrikan merata pada kebanyakan jiwa manusia akibat merebaknya kejahilan dan tersamarkannya ilmu.” Wallahua’lam.

Pengakuan Para Ulama Musyrikin di Zaman Al Imam Al Mujaddid bahwa Perbuatan Mereka di Kuburan Orang-orang Shalih adalah Kesyirikan Besar yang Allah Murkai

Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan sebagai pamungkas pembicaraan akan hal ini kita katakan, “Pembicaraan ini berkisar pada dua persoalan;

Pertama; Kita katakan, apa yang dilakukan oleh banyak orang awam di kuburan orang-orang shalih dan kepada banyak orang hidup dan mati dan juga jin berupa kecondongan kepada mereka, menyeru mereka dalam rangka mengangkat kesulitan, memberi nadzar kepada mereka dengan tujuan itu, apakah perbuatan ini kesyirikan yang besar yang dahulu dilakukan kaum Nuh dan generasi setelahnya hingga berakhir kepada kaum nabi terakhir, bangsa Quraisy dan selain mereka? Lalu Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab mengingkari mereka dan mengkafirkan mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka agar agama menjadi milik Allah seluruhnya. Ataukah perbuatan itu (hanya) syirik kecil? Sedangkan kesyirikan (musyrikin) dahulu berbeda lagi.

Ketahuilah, pembicaraan seputar persoalan ini mudah bagi orang yang dimudahkan Allah karena ulama musyrikin sekarang sudah mengakui bahwa perbuatan itu adalah syirik besar dan mereka tidak mengingkarinya bahwa itu syirik besar… ”[11]

Beliau juga berkata, “Dan Allah telah menganugrahkan kepada kalian, (dimana) ulama musyrikin telah mengakui ini semua, kalian mendengar pengakuan mereka bahwa apa yang dilakukan di Haramain, Bashrah, Iraq dan Yaman adalah kesyirikan kepada Allah. Mereka mengakui untuk kalian bahwa agama yang mereka bela dan sangka pengikutnyalah yang disebut dengan As-Sawad Al A’dzam (mayoritas terbesar), mereka mengakui ajaran mereka adalah kesyirikan. Bahkan mereka mengakui untuk kalian kalau tauhid yang mereka terus berupaya mematikan cahayanya dan membunuh pembelanya dan menawan mereka, bahwa tauhid ini adalah agama Allah dan rasul-Nya. Dan pengakuan dari mereka ini atas diri-diri mereka adalah diantara tanda-tanda (kebesaran) Allah yang paling besar dan diantara nikmat Allah yang paling agung kepada kalian. Sehingga tidak tersisa setelah ini satu syubhat pun kecuali pada hati yang mati, yang telah Allah kunci. Dan mereka tidak punya jalan keluar.”[12]

Al Mukhalafat fit-Tauhid, Jafar Salih


[1] Hadits diriwayatkan oleh Al Bukhari (no. 7116) dan Muslim (no. 2940)dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.

[2] Hadits riwayat Muslim (no. 2907) dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

[3] Al Intishar li Hizbillah Al Muwahhidin (halaman 43). Lihat juga Ar-Rasa’il Asy-Syakhshiyyah (halaman 179)

[4] Intishar li Hizbillah Al Muwahhidin (halaman 41)

[5] Al Intishar li Hizbillah Al Muwahhidin (halaman 78).

[6] Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid (halaman 69-70)

[7] Tathhir Al I’tiqad dengan syarah Asy-Syaikh Abdul Aziz Rajihi (halaman 77-79) cetakan pertama, Daar Ibnul Jauzi.

[8] Tathhir Al I’tiqad dengan syarah Asy-Syaikh Abdul Aziz Rajihi (halaman 82) cetakan pertama, Daar Ibnul Jauzi.

[9] Ad-Durrun Nadhiid fi Ikhlashi Kalimat At-Tauhid, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (halaman 47) cetakan pertama, tahun 1995. Daar Al Fath

[10] Ar-Rasaa’il Asy-Syakhshiyyah (hal 166)

[11] Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid (halaman 80)

[12] Ar-Rasaa’il Asy-Syakhshiyyah (halaman 272)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *