Diantara perkara-perkara yang mendapat perhatian yang besar dari ulama dakwah Najed adalah perkara berhukum dengan selain yang Allah turunkan, dan penerapan hukum tidak dengan syari’at Islam dalam urusan kehidupan disebabkan beberapa alasan berikut:

  1. Undang-undang buatan telah menjajah mayoritas negara Islam, penerapannya pada seluruh urusan kehidupan dari mulai urusan ekonomi, politik, social, pidana, ta’zir, hingga urusan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Penjajahan ini tidaklah dilakukan dalam waktu antara pagi dan sore (waktu singkat-pent), bahkan ia dilakukan dengan masif dan perencanaan sejak lemahnya Daulah ‘Utsmaniyah, dan memasukkan sebagian aturan-aturan barat dalam bagian negara Islam hingga runtuhlah Daulah ‘Utsmaniyyah, dan sempurnalah penyingkiran syari’at dari negara-negara Islam, sehingga undang-undang buatan berposisi layaknya undang-undang syari’at, kemudian terjadilah penghapusan hukum syar’i lalu tergantikannya dengan hukum buatan, dibukanya universitas-universitas yang dipelajari didalamnya undang-undang buatan dan aturan-aturan buatan manusia, dan melahirkan ketetapan hukum dan aturan-aturannya, dan kesempatan ini bukanlah tempat untuk merincikan hal ini.
  2. Banyaknya penggembosan yang dilakukan oleh orang-orang sekuler di negara-negara muslim bahwasanya syari’at tidak lagi relevan dengan zaman, dan semestinya ia di singkirkan dari hukum dan kehidupan, harus diubah dengan undang-undang yang lebih cocok dengan ruh kehidupan modern, dan bahwasanya tidak akan teratur kehidupan masyarakat islami kecuali dengan berlepas diri dari kungkungan agama sebagaimana dilakukan oleh Eropa, memberontak kepada kewenangan para tokoh agama, dan sebagian mereka pun telah menikam hukum-hukum syari’at dan menyifatinya dengan kejumudan, kuno dan kelaliman, tidak adil terhadap kaum wanita, bahkan hingga mengkritisi hukum-hukum yang berkaitan dengan pernikahan dan perceraian serta warisan, dan tidak diragukan lagi hal ini adalah kemurtadan dengan kesepakatan para ahli ilmu.
  3. Rancunya perkara penting ini di pikiran banyak orang yang menulis tentang hal ini, dan makin meningkatnya perdebatan tentang apakah berhukum dengan selain yang Allah turunkan dan mengesampingkan syari’at dari urusan kehidupan termasuk perkara yang menjadikan pelakunya kafir atau tidak? Sungguh sebagian orang telah melampaui batas hingga menyifati orang-orang yang berpendapat memutuskan hukum dengan undang-undang buatan dan kehidupan termasuk mukaffirat sebagai khawarij! Dan mereka mengklaim bahwasanya memutuskan hukum dengan undang-undang buatan termasuk kufur ashghar. Dan bahwasanya orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang Allah turunkan tidak dikafirkan selama ia tidak juhud dan menghalalkan hal tersebut. Sungguh para ahli ilmu telah membantah kelompok ini -segala puji hanya bagi Allah-, dan mereka telah menjelaskan tentang kebatilan statemen-statemen mereka.
  4. Penjelasan bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah memilki keterkaitan dengan tauhid uluhiyyah, dan bahwasanya perkara ini memiliki kaitan dengan tauhid thaa’ah dan ittibaa’, barangsiapa berhukum dengan syari’at maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa mengesampingkan syari’at, maka sungguh ia telah berbuat syirik kepada Allah, dan syirik dalam hukumNya hukumnya sama seperti syirik dalam mengibadahiNya.
  5. Penjelasan gambaran yang menyebabkan seseorang menjadi kafir dalam hal ini, inti kekufurannya, dan inilah tema pembahasan kita, dan penjelasan gambaran yang tidak menyebabkan seorang menjadi kafir untuk membedakan yang kedua ini dengan yang pertama tadi, hingga tidak terjadi kerancuan (dalam memahami hal ini -pent).
  6. Kami pisahkan pembahasan khusus untuk ulama dakwah Najdiyyah yang diberkahi, karena sebagian manusia merasa ragu bahwasanya seluruh perhatian ulama dakwah hanyalah untuk menjelaskan syiriknya para penyembah kubur wali-wali dan orang-orang shalih, dan tidak ada perhatian mereka dalam hal ini. Yang benar adalah bahwasanya para ulama dakwah berada diatas manhaj yang diberkahi dan pertengahan, mereka mengobati perkara ini dan menjelaskan keterkaitannya dengan tauhid, serta keterkaitannya pula dengan syirik, dan merekapun menyebutkan bahwasanya diantara pentolan-pentolan thagut adalah para hakim yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, merekapun juga menyebutkan bahwa thagut-thagut itu ada dua macam; thagut hukum dan thagut ibadah, mereka juga menetapkannya di kitab-kitab mereka dengan bab-bab yang tersendiri, fatwa-fatwa, surat-surat yang penting tentang tema yang satu ini, dan tidaklah mereka sebagaimana yang di klaim oleh orang-orang zaman sekarang bahwa perhatian mereka (para ulama dakwah) hanyalah pada mengingkari kesyirikan (berdoa -pent) kepada orang-orang mati, dan mereka telah mengabaikan kesyirikan orang-orang yang hidup. Maka ini merupakan kedustaan yang dinisbatkan kepada mereka, tanpa memandang dari siapapun yang mengatakan hal ini tentang urusan mereka.”
  7. Merupakan sebab yang penting bahwa banyaknya slogan pada masa sekarang yang mengaburkan antara Islam dengan yang selainnya dari aturan-aturan manusia, dan ini semua bisa bersatupadu. Atau bisa penerapan hukum syari’ah bisa diterapkan pada satu bagian, tetapi tidak berlaku pada bagian yang lain dari kehidupan kita. Dan sebenarnya, slogan ini sangatlah berbahaya, membuka pintu keburukan yang dahulu tertutup. Karena syari’ah dan sekulerisme adalah dua hal yang sangat berbeda. Allah berfirman:

 أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ

“Apakah kalian beriman kepada sebagian dari al-Kitab dan mengkufuri sebagian yang lain?”

[al-Baqara:85]

 Tanpa ada keraguan bahwa ada pengkaburan dari penyeruan bahwa Islam dan demokrasi itu bisa bersatu. Mereka bilang bahwa demokrasi itu adalah ruh majelis syura dalam Islam, dan bahwasanya boleh menerapkan sebagian hukum Islam tanpa bagian yang lain. Inilah slogan yang sangat berbahaya, tersebar dan kaum muslimin telah tersamarkan dari perkara yang membahayakan agama mereka.

Dibawah ini kami sertakan beberapa nukilan perkataan para ulama dakwah Najed dalam persoalan penting ini:

1- Berkata al-Imam al-Mujaddid asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab:

“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu. Bahwa yang pertama kali yang diwajibkan Allah atas Bani Adam adalah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah. Dan dalilnya adalah firman Allah:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

‘Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut’ [an-Nahl:36]

Adapun gambaran kufur kepada thaghut adalah engkau meyakini batilnya peribadahan kepada selain Allah, meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhinya. Dan thaghut adalah istilah yang menyeluruh. Setiap yang diibadahi selain Allah, dan dia ridha terhadap peribadahan itu, baik berbentuk sesuatu yang disembah, diikuti, atau ditaati selain Allah dan rasul-Nya, maka dia adalah thaghut. Dan thaghut banyak bentuknya. Yang terbesar ada lima (kemudian asy-Syaikh menyebutkan diantara yang lima tersebut);

Beliau berkata:

Yang kedua, seorang hakim, yang melebihi batas, yang mengganti hukum Allah. Dan dalilnya adalah firman Allah:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Tidakkah kamu melihat orang-orang yang menyangka bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan kepada sebelummu, sedangkan mereka menginginkan untuk berhukum kepada thaghut padahal sungguh telah diperintahkan agar mengkufurinya. Dan syaithan menginginkan untuk menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh”. [an-Nisa:60]

Yang ketiga, orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Dan dalilnya adalah firman-Nya:

 وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” [al-Maidah:44]

Dan ketahuilah, bahwa manusia tidaklah menjadi seorang mumin kecuali dengan kufur kepada thaghut. Dan dalilnya adalah firman-Nya:

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَ

‘Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang kepada tali buhul yang kokoh’” [al-Baqarah: 256]

Dan jelaslah ucapan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul-Wahhab rahimahullah bahwa timbangan orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah adalah thaghut dengan dua bentuk:

Bentuk yang pertama, seorang hakim yang men-tabdil (merubah) hukum Allah. Dia membuat dan menerapkan syari’at-syari’at yang Allah sama sekali tidak benarkan.

Bentuk yang kedua, seorang hakim yang sekedar berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, tanpa adanya tabdil. Dan ini merupakan bantahan atas siapa saja yang menyangka bahwa yang merupakan kekafiran akbar hanya terbatas pada tabdil, dan tidak mencakup hakim yang ber-tahkim dengan selain apa yang diturunkan Allah; ini bukan kekafiran! (kata mereka -pentj)

Syaikh Shalih Al Fauzan mengomentari, kata beliau: perbuatan dia berhukum dengan selain hukum Allah sama dengan merubah.

2- Berkata asy-Syaikh ‘Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthayn an-Najdi setelah menukil perkataan para ulama salaf tentang definisi thaghut, dan termasuk pada definisi tersebut adalah siapa yang memutuskan atau mencari keadilan dengan selain apa yang diturunkan Allah. Dan beliau menukil dari al-Hafidz ibnu Katsir dan dari para salaf yang lain:

“Bisa diambil dari perkataan-perkataan mereka rahimahumullah bahwa istilah thaghut mencakup segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, pemimpin kesesatan yang menyerukan dan menghiasi kebatilannya, dan mecakup juga segala sesuatu yang manusia menjadikannya sebagai dasar dalam memutuskan perkara diantara mereka dari hukum-hukum jahiliyyah yang bertolakbelakang dengan hukum Allah dan rasul-Nya.” Majmu’ah at-Tauhid (498-500). Al-Fatawa an-Najdiyyah (1/326-327)

3- Berkata asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah aalusy-Syaikh, setelah menukil definisi para salaf atas thaghut:

“Berkata Mujahid, ‘thaghut itu: syaithan dalam wujud manusia yang orang-orang mencari keadilan kepadanya, pemutus perkara sesama mereka’. Aku berkata ini pendapat yang benar, akan tetapi perlu ada pengecualian yaitu mereka yang tidak ridha dengan peribadahan tersebut” Taisir al-Aziz al-Hamid (33-34)

4- Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu-Syaikh

“Setiap yang memutuskan dengan selain Kitabullah dan Sunah rasulullah, maka dia telah berhukum dengan thaghut yang Allah perintahkan para hamba-Nya untuk mengkufuri thaghut. Karena perkara mencari keadilan, maka tidak ada kecuali dengan mencari keadilan lewat Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya dan siapa saja yang memutuskan dengan keduanya. Barangsiapa yang berhukum dengan selain keduanya, maka dia telah melewati batasnya dan keluar dari apa yang telah Allah dan rasul-Nya syari’atkan dan dia telah menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya.” Fathul Majid (429), cetakan Dar al-Ifta.

5- Berkata asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Si’di dalam tafsirnya: “Setiap yang berhukum dengan selain syari’at Allah, maka dia adalah thaghut.”

6- Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim aalusy-Syaikh rahimahullah, mengkaitkan perkara berhukum dengan tauhid, menjelaskan bahwa hakim yang memutuskan dengan selain yang diturunkan oleh Allah, maka dia dinamakan thaghut:

“Mencari keadilan kepada syariat Allah, memutuskan dengan apa yang tampak pada mereka dari syari’at, merupakan sesuatu yang bersifat darurat, yang kaum muslimin tidak bisa lepas darinya. Inilah aturan kaum muslimin dan akidah mereka. Sebagaimana terkandung dalam syahadat “muhammadur-rasulullah”. Dan sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini, baik ushul maupun furu’-nya, mensyari’atkan di kitab-Nya lewat lisan rasul-Nya dalam memutuskan segala perselisihan, menegakan untuk hamba-hamba-Nya segala yang mendatangkan mashlahat dan manfaat. Dan itu semua adalah kebaikan, sesempurnanya rujukan dan memberikan hasil akhir yang paling baik dibandingkan hukum-hukum selain hukum-Nya.

Maka semua perkara yang diperselisihkan muslimin wajib mengembalikannya kepada para hakim yang berhukum dengan syariat Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’aala;

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. Annisa: 59)

Maka tidak boleh menukar syariat Allah dengan hukum-hukum buatan yang tidak Allah turunkan padanya keterangan. Menyandarkan persoalan seperti ini kepada para pemuja undang-undang buatan termasuk perbuatan menyandarkan perkara kepada selain ahlinya. Dan termasuk kepada mencari keadilan kepada thaghut yang Allah udah perintahkan agar seorang muslim kufur dengannya pada firman-Nya:

لَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Qs. An-Nisa: 60)

7- Berkata Syaikh Muhammad bin Ibrahim:

“Thaghut berasal dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maka semua orang yang berhukum dengan selain yang dibawa oleh Rasululullah Saw berarti dia telah berhukum dengan thaghut dan memutuskan dengannya. Yang demikian karena telah menjadi wajib atas semua orang untuk berhukum dengan yang Nabi bawa, maka barangsiapa berhukum dengan selainnya atau memutuskan dengan selain hukumnya berarti dia telah kelewatan dan melampaui batasannya dalam berhukum atau mencari keadilan, sehingga dengan begitu dia menjadi thaghut.” Risalah Tahkim Qawanin (3-4) cetakan ke-3, tahun 1411 H

Diringkas dari kitab Dhawabith Takfir Al Mu’ayyan Asy-Syaikh Abul Ula Ar-Rasyid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *